Makna suatu tempat maupun perasaan yang mengiringi ketika mengunjungi lokasi bersejarah tentu beragam bagi setiap orang, dengan nuansa emosi yang pasti berbeda untuk setiap individu, tergantung dari sisi mana suatu lokasi itu dimaknai.
Saya tidak ingin membahas derajat kesakralan, karena sesuatu yang suci itu tidak bisa diukur dengan timbangan manusia, maupun ditandai oleh peradaban sejarah. Kesucian itu abadi, dan kekerdilan manusia tak pernah mampu menafsirkan sesuatu diluar wawasannya yang memang terbatas. Kesucian itu hanya bisa dimaknai dan dirasakan, membuat lidah kelu tak mampu berucap, namun ketika kaki berpijak dan mata memandang, yang dirasakan hanya satu; bagi umat beragama manapun: “Betapa Engkau Besar dan Agung Ya Tuhan”.
Sepenggal kesakralan yang bisa dinikmati oleh turis manapun, tanpa peduli agama maupun kepercayan yang dianutnya adalah The Wailing Wall , terjemahan bebasnya: Tembok Ratapan. Dimana berjuta manusia datang untuk khusuk berdoa dan menangis.
Pertanyaan yang lumrah ketika saya tanyakan kepada tour guide orang Yahudi bernama Joram yang setia menemani selama hampir dua minggu, “Mengapa banyak sekali kaum Yahudi dan juga agama lain yang mengunjungi tembok ratapan, berdoa dan menangis ?” Belum lagi hal unik lainnya yang dilakukan banyak orang yaitu menyelipkan gulungan kertas kecil diantara celah bebatuan tembok ratapan dan kemudian berdoa menghadap tembok dengan sangat khusuk.
Kaum Yahudi sendiri seperti juga umat Islam, tidak beribadah dengan mencampurkan laki laki dan perempuan. Ada bagian khusus yang diperuntukkan bagi kaum Hawa untuk berdoa. Dibatasi dengan pemisah yang terbuat dari kayu setinggi kurang lebih dua meter, memastikan bahwa yang pria memang khusus datang kesitu untuk memisahkan diri dari “belahan jiwanya”, dan menjadikan Tuhan sang Pencipta sebagai satu satunya sumber keberadaan dirinya selama berdoa.
Mengapa meratap ?. Bagi orang Yahudi ratapan itu adalah tangisan kesedihan atas hancurnya bait Allah yang dibangun oleh Raja Salomo, dan setelah mengalami begitu banyak perang dan pertikaian, berbagai agama muncul, termasuk Kristen dan Islam, yang kemudian menganggapnya sebagai bagian penting dari sejarah perkembangan agama agama tersebut, dan tidak lagi mutlak menjadi milik kaum Yahudi sebagai tempat tersuci.
Alasan kedua, ratapan itu adalah ungkapan ketiada berdayaan mereka untuk membangun kembali bait Allah, yang konon menurut penjelasan Joram sang tour guide, besarnya adalah lima belas kali lapangan sepak bola disatukan. Suatu Keagungan dalam bentuknya sendiri.
Membayangkan kaum Yahudi meratap dan tak berdaya, sepertinya sulit juga bagi saya sebagai turis awam, mengingat betapa “ngeyelnya” orang Yahudi, yang bahkan bagi keimanan Kristen, Tuhan Yesus pun sebagai Yahudi, disalibkan oleh bangsanya sendiri.
Mengunjungi tembok ratapan, dan melihat dari kejauhan suami saya masuk ke bagian laki laki, memakai topi putih kecil yang dibagikan gratis di pintu masuk khusus laki laki, membuat hati saya sendu berbalut suasana sakral yang secara alamiah keluar dari segenap batu di sepanjang sisi tembok ratapan…
Manusia, tidak peduli seberapa hebat dan pintarnya, tidak peduli betapa kuat dan gagahnya, pada satu titik akan kembali kepada dasar yang sama yang menyatukan segala makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Besar, bahwa kita semua memiliki keterbatasan, bukan dengan tujuan karena Tuhan senang akan kelemahan, tapi karena hanya dalam kelemahanlah kita menyadari bahwa hidup ini memang seutuhnya milik Tuhan, dan kepadaNyalah semua akan kembali.
Dalam hening di sisi barat tembok Jerusalem, termenung dalam kesendirian, aku menyadari…. sesungguhnya diriku membutuhkan engkau ya Tuhan, dalam segala keterbatasanku, kesempurnaan hanya milik Tuhan semata, dan lidah yang kecil ini hanya sempurna ketika mengagungkan Nama-Mu.
Dalam keterbatasan, sesungguhnya kita semua memiliki ratapan, dan ketika dunia tidak lagi menjadi tempat yang damai bagi setiap manusia, satu satunya pelarian adalah kembali kepada sang Empunya, Tuhan dalam keagunganMu, dengarkanlah ratapan kami.
No comments:
Post a Comment